Sabtu, 13 Desember 2025
spot_img

Refleksi Sufistik: Sebuah Dialog tentang Adab dan Ke tawadhu’an

Oleh Saiful Anam

Pada suatu sore yang tenang, seorang teman mendekati saya dengan tatapan penasaran.
Ia bertanya lirih, tetapi menusuk:
“Gus… kok panjenengan mau tangan njenengan dicium? Memangnya sampean merasa pantas untuk dihormati begitu?”

Saya menatapnya sebentar.
Lalu menjawab dengan suara pelan, seolah ingin menuntun hatinya, bukan hanya pikirannya:
“Aku tidak pernah meminta tangan ini dicium. Tidak pula aku mewajibkan siapa pun melakukannya. Bahkan terus terang, ketika ada yang mencium tanganku, aku sering merasa tidak nyaman.”

Ia tampak kaget.
“Lah, terus kenapa panjenengan tetap mengizinkan?”

Saya menarik napas panjang.
“Karena hidup itu tidak sesederhana apa yang kita suka atau tidak suka.”

Teman saya semakin bingung.
“Maksudnya bagaimana, Gus?”

Saya berkata perlahan, hampir seperti sedang mengaji makna di balik adab:
“Ada orang yang merasa tenteram hidupnya ketika ia mencium tangan gurunya. Ada yang merasa mantap langkahnya ketika mengungkapkan hormat. Bukan karena saya ini lebih tinggi dari dirinya, tetapi karena ia sedang merawat tata batinnya sendiri.”

Ia terdiam sejenak, lalu bertanya lagi:
“Jadi penghormatan itu sebenarnya bukan untuk panjenengan… tapi untuk dirinya?”

Saya mengangguk.
“Betul. Mencium tangan itu bukan soal mengangkat derajatku, tapi tentang bagaimana ia menata adabnya. Jika tindakan itu membuat hatinya lebih jernih, hidupnya lebih terarah, atau adabnya lebih terjaga—maka aku menerima. Bukan sebagai kehormatan, tetapi sebagai pelayanan.”

Ia memikirkan kata “pelayanan” itu.
“Melayani… bagaimana maksudnya?”

Saya menjawab dengan nada lebih dalam:
“Ketika seseorang mencium tanganku demi kemantapan hidupnya, maka aku justru sedang menghormati dirinya. Aku memberi ruang bagi caranya menjaga adab. Aku menundukkan egoku agar ia bisa menegakkan hatinya. Itu bukan kemuliaanku. Itu pengabdian kecilku.”

Teman saya akhirnya mengangguk pelan, wajahnya berubah lebih teduh.
“Saya paham sekarang, Gus… ternyata yang panjenengan jaga bukan gengsi, tapi hati manusia.”

Saya tersenyum.
“Kadang, menerima penghormatan bukan karena kita membutuhkannya. Tetapi karena orang lain membutuhkannya untuk menjaga dirinya tetap utuh. Dan ketika itu terjadi, kita bukan sedang diagungkan
kita sedang sedang melayani dan mengabdi.”

BERITA TERKAIT

- Advertisement -spot_img

TERBARU